Akademi Keperawatan Bina Insani Sakti Kerinci

Akademi Keperawatan Bina Insani Sakti Kerinci
My Collage

Welcome To My Blog...

ALL ABOUT NURSES....

Rabu, 19 Agustus 2009

Susah lo masuk AKPER KERINCI.......


kerinci.......

Akademi keperawAtan bina insani sakti kerinci adalah satu-satunya akademi keperawatan yang ada di daerah kerinci. akademi yang di dirikan sekitar tahun 2001 ini telah banyak meluluskan perawat perawat yang handal.
banyak dari tamatan atau lulusan akper ini yang telah di terima kerja di klinik, puskesma, atau rumah sakit yang ada di kerinci, jambi, dan bahkan di luar daerah.

bahkan yang lebih mencengangkan lagi ada 2 orang alumni akper kerinci yang di terima bekerja di rumah sakit batam yang berstandar internasional. seleksinya pun sangat luar biasa. seleksinya di ikuti oleh kalau tidak salah 6 negara tetangga. dari seleksi yang di lakukan terjaring 7 perawat yang mana 2 orang dari indonesia di wakili oleh alumni dari akper bina insani sakti kerinci.

dari hal itulah alumni dari akper kerinci sangat di segani. oleh karena itu sangat sulit untuk masuk akper. apalagi sekarang untuk masuk akper di berlakukan tes baru yaitu psikotest. mungkinh untuk menghindari perawat yang gila mungkin.........hehehe.........

beruntunglah bagi mahasiswa yang berhasil menjadi salah satu keluarga besar akper bina insani sakti kerinci........

majukan terus keperawatan kerinci. jangan sampai kita hanya bisa "ngekor" di belakang dokter. kita harus bangkit. karena kita juga mampu..
perlu di ingat, tanpa perawat rumah sakit mati.....

hidup perawat..........

Senin, 17 Agustus 2009

askep copd

kerinci.......

ASUHAN KEPERAWATAN COPD (CRONIK OBSTRUKTIF PULMONAL DEASEASE)


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk. sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. Sering juga penyakit ini disebut dengan “Chronic Airflow Limitation (CAL)” dan “Chronic Obstructive Lung Diseases (COLD)”
COPD merupakan penyakit yang ditandai dengan obstuksi aliran napas yang tidak penuh bisa sembuh kembali. Keterbatasan aliran udara biasanya meningkat dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru sebagai respon terhadap partikel dan gas yang berbahaya. Berat ringan COPD dapat digolongkan menjadi 4 yaitu:
Tahap 0 – Resiko
batuk kronis dan sputum produktif, fungsi paru normal.
Tahap 1 – COPD Ringan
Forced Expiratory Volume dalam 1 detik (FEV1) ≥80%, Keterbatasan aliran udara ringan, Batuk kronis dan sputum produktif.
Tahap 2 – COPD Moderat
FEV1 <80%, Ketebatasan aliran udara tambah buruk, Gejala bertambah, Napas pendek.
Tahap 3 – COPD Berat
FEV1 <30%, Keterbatasan aliran udara berat, Gagal napas, Tanda klinis gagal jantung kanan, Qualitas hidup menurun, Jika berulang mengancam kehidupan.

A. ASTHMA BRONCHIALE
1. DEFINISI
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.
2. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang menonjol pada semua penderita asthma adalah fenomena hiperreaktivitas bronchus. Bronchus penderita asthma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non-imunologi. Karena sifat inilah maka serangan asthma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asthma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrim.
e. Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan.
h. Emosi
i. Lain-lain : seperti reflux gastro esofagus.

3. GAMBARAN KLINIS
Gejala asthma terdiri dari triad : dispnea, batuk dan mengi, gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).
Objektif
• Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.
• Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.
• Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan
• Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.
• Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus)
Subjektif
• Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.
Psikososial
• Cemas, takut dan mudah tersinggung
• Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.

4. PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronchial :
a. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan :
1) Saatnya serangan
2) Obat-obatan yang telah diberikan (macam dan dosis)
b. Pemberian obat bronchodilator.
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan.
d. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Setelah serangan mereda :
1) Cari faktor penyebab.
2) Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.

5. OBAT-OBATAN
a. Bronchodilator
Tidak digunakan bronchodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral sebab mekanisme yang berlainan, demikian sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan Teofilin oral maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral. Obat-obatan bronchodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non-selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)
• Obat-obat bronchodilatator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping sistemik lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak dan dewasa. Mula-mula diberikan 2 sedotan dari Metered Aerosol Defire (Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang tiap 4 jam, jika tidak ada perbaikan sampai 10-15 menit berikan Aminophilin intravena.
• Obat-obat Bronchodilatator simpatomimetik memberi efek samping tachicardia, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Anak-anak 0,01 mg/Kg BB subkutan (1 mg permil) dapat diulang tiap 30 menit untuk 2–3x sesuai kebutuhan.
• Pemberian Aminophilin secara intravena dosis awal 5 – 6 mg/Kg BB dewasa/anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit. Untuk dosis penunjang 0,9 mg/KgBB/Jam secara infus. Efek sampingnya tekanan darah menurun bila dilakukan tidak secara perlahan.
b. Kortikosteroid
Pemberian obat–obat bronchodilatator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjutkan dengan pengobatan kortikosteroid 200 mg hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3 – 4 mg/Kg BB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2 – 4 jam secara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30 – 60 mg prednison atau dengan dosis 1 – 2 mg/Kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara bertahap.
c. Pemberian Oksigen
Melalui kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberikan kelembaban. Obat ekspektoran seperti Gliserolguaiakolat dapat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, maka intake cairan peroral dan infus harus cukup, sesuai dengan prinsip rehidrasi, antibiotic diberikan bila ada infeksi.
d. Beta Agonists
Beta agonists (β-adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan dalam pengobatan asthma dikarenakan obat ini bekerja dengan jalan mendilatasikan otot polos. Adrenergic Agent juga meningkatkan pergerakan cilliary, menurunkan mediator kimia anaphylaxis dan dapat meningkatkan efek broncholasi dari kortikosteroid. Agent adrenergic yang sering digunakan antara lain epinephrine, albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetharine dan terbutaline. Biasanya diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan jalan pilihan dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.

B. BRONCHITIS KRONIS
1. DEFINISI
Bronchitis akut adalah radang mendadak pada bronchus yang biasanya mengenai trachea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan “laringotracheobronchitis”. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan nafas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik, misalnya pada morbili, pertusis, difteri dan typhus abdominalis. Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus takeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut. Bronchitis kronis bukanlah merupakan bentuk menahun dari bronchitis akut. Walaupun demikian, pada perjalanan penyakit bronchitis kronis dapat ditemukan periode akut, yang menunjukkan adanya serangan bakteri pada dinding bronchus yang tidak normal. Infeksi sekunder oleh bakteri ini menimbulkan kerusakan yang lebih banyak sehingga akan memperburuk keadaan.
2. ETIOLOGI
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
a. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
b. Alergi
c. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.
Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai
beberapa alat tubuh, yaitu :
a. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
b. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus.
c. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
d. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

3. GAMBARAN KLINIS
a. Penampilan umum : cenderung overweight, cyanosis akibat pengaruh sekunder polisitemia, edema (akibat CHF kanan), barrel chest.
b. Usia : 45 – 65 tahun
c. Pengkajian :
Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dyspnea dalam beberapa keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, sering infeksi pada system respirasi. Gejala biasanya timbul pada waktu yang lama.
d. Jantung : pembesaran jantung, Cor Pulmonal, Hematokrit > 60%
e. Riwayat merokok
4. PENATALAKSANAAN
Pengobatan yang utama ditujukan untuk mencegah dan mengontrol infeksi dan meningkatkan drainase bronchial menjadi jernih. Pengobatan yang diberikan :
a. Antimikrobial
b. Postural Drainage
c. Bronchodilator
d. Aerosolized Nebulizer
e. Surgical Intervention

C. EMFISEMA PARU
1. DEFINISI
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO). Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.
2. PATOGENESIS
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu :
a. Hilangnya elastisitas paru.
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
b. Hyperinflation Paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya Bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
d. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
3. GAMBARAN KLINIS
a. Penampilan Umum
• Kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma
• Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
b. Usia 65 – 75 tahun.
c. Pengkajian fisik
• Nafas pendek persisten dengan peningkatan dyspnea
• Infeksi sistem respirasi
• Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam.
• Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
• Produksi sputum dan batuk jarang.
d. Pemeriksaan jantung
• Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor Pulmonal timbul pada stadium akhir.
• Hematokrit < 60%
e. Riwayat merokok
• Biasanya didapatkan, tapi tidak selalu ada riwayat merokok.

4. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit dan mengobati obstruksi saluran nafas yang berguna untuk mengatasi hipoxia. Pendekatan terapi mencakup :
• Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja nafas.
• Mencegah dan mengobati infeksi
• Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
• Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi pernafasan.
• Support psikologis
• Patient education and rehabilitation.
Jenis obat yang diberikan :
• Bronchodilators
• Aerosol therapy
• Treatment of infection
• Corticosteroids
• OxygenationPage 13

D. KOMPLIKASI COPD
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.Page 14
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
3. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.
10. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
12. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.

DIAGNOSA
Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada COPD yaitu :
1.Bersihan jalan nafas tak efektif yang berhubungan dengan : Bronchospasme, Peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan, kental), Menurunnya energi/fatique
2. Kerusakan Pertukaran gas berhubungan dengan :
Kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekret, bronchospasme, air trapping, Destruksi alveoli).
3. Ketidak seimbangan nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan Status Nutrisi (Intake cairan dan makanan)

INTERVENSI
1.Bersihan jalan nafas tak efektif yang berhubungan dengan : Bronchospasme, Peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan, kental), Menurunnya energi/fatique
Data-data :
Klien mengeluh sulit untuk bernafas
Perubahan kedalaman/jumlah nafas, penggunaan otot bantu pernafasan
Suara nafas abnormal seperti : wheezing, ronchi, crackles
Batuk(persisten) dengan/tanpa produksi sputum.
Status
Kriteria Hasil :
• Tidak ada demam
• Tidak ada cemas
• RR dalam batas normal
• Irama nafas dalam batas normal
• Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
• Bebas dari suara nafas tambahan
Intervensi :
a. Manajemen jalan nafas
b. Penurunan kecemasan
c. Aspiration precautions
d. Fisioterapi dada
e. Latih batuk efektif
f. Terapi oksigen
g. Pemberian posisi
h. Monitoring respirasi
i. Surveillance
j. Monitoring tanda vital
2. Kerusakan Pertukaran gas berhubungan dengan :
Kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekret, bronchospasme, air trapping, Destruksi alveoli).
Data-data :
Dyspnea
Confusion, lemah.
Tidak mampu mengeluarkan sekret
Nilai ABC abnormal (hypoxia dan hiperkapnia)
Perubahan tanda vital.
Menurunnya toleransi terhadap aktifitas.
Kriteria Hasil :
• Status mental dalam batas normal
• Bernafas dengan mudah
• Tidak ada cyanosis
• PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal
• Saturasi O2 dalam rentang normal
Intervensi :
a. Manajemen asam dan basa tubuh
b. Manajemen jalan nafas
c. Latih batuk
d. Tingkatkan keiatan
e. Terapi oksigen
f. Monitoring respirasi
g. Monitoring tanda vital
3. Ketidak seimbangan nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan Status Nutrisi (Intake cairan dan makanan)
Data-data :
Dyspnea, fatique
Anorexia, nausea/vomiting.
Penurunan berat badan
Kehilangan masa otot,
tonus otot jelek
Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa
Tidak bernafsu untuk makan, tidak tertarik makan
Kriteria Hasil :
• Asupan makanan adekuat
• Intake cairan peroral adekuat
• Intake cairan adekuat
• Intake kalori adekuat
• Intake protein, karbohidrat dan lemak adekuat
• Mampu memeliharan intake kalori secara optimal
• Mampu memelihara keseimbangan cairan
• Mampu mengontrol asupan makanan secara adekuat
Intervensi :
a. Manajemen cairan
b. Monitoring cairan
c. Status dietPage 16
d. Manajemen gangguan makan
e. Manajemen nutrisi
f. Terapi nutrisi
g. Konseling nutrisi
h. Kontroling nutrisi
i. Terapi menelan
j. Monitoring tanda vital
k. Bantuan untuk peningkatan BB
l. Manajemen berat badan

IMPLEMENTASI
Pelaksanaan adalah tahap keempat dari proses keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan (Kozier, 1991).
1. Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan dari tiap-tiap masalah atau diagnosa keperawatan yang ada dalam teori disesuaikan dengan prioritas keadaan klien.
2. Tahap pelaksanaan terdiri dari :
a. Keterampilan yang diperlukan pada penatalaksanaan adalah :
1) Kognitif adalah suatu keterampilan yang termasuk dalam kemampuan memecahkan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan penilaian yang kreatif.
2) Interpersonal adalah suatu yang diperlukan dalam setiap aktivitas perawat yang meliputi keperawatan, konseling, pemberi support yang termasuk dalam kemampuan interpersonal diantaranya adalah perilaku, penguasaan ilmu pengetahuan, ketertarikan oleh penghargaan terhadap budaya klien, serta gaya hidup. Perawat akan mempunyai skill yang tinggi dalam hubungan interpersonal jika mereka mempunyai kesadaran akan sensitivitas terhadap yang lain.
3) Tekhnikal adalah suatu kemampuan yang tidak bisa dipisahkan dengan interpersonal skill seperti memanipulasi alat, memberikan suntikan, pembiayaan, evaluasi dan reposisi.
b. Tindakan Keperawatan
1) Mandiri atau independen adalah suatu tindakan perawat yang berorientasi pada tim kerja perawat dalam melakukan, menentukan, merencanakan dan mengevaluasi tindakannya :
a) Seorang perawat tidak dapat melakukan tindakan keperawatan sendiri, contoh : merubah posisi klien yang obesitas di atas tempat tidur.
b) Asisten memerlukan tingkat stres pada klien, contoh mengganti posisi klien yang obesitas di atas tempat tidur.
c) Perawat yang kurang mengerti tentang pemasangan infus harus mencari pertolongan yang mengerti pertolongan tersebut.
2) Interdependen atau kolaborasi adalah suatu tindakan bersifat kolaboratif tim kesehatan lainnya dalam menentukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap klien yang dirawat, contoh : pemberian obat analgetik untuk mengatasi nyeri pada klien diperlukan kolaborasi dengan dokter.
c. Pendokumentasian Implementasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, perawat mencatat tindakan tersebut
dan respon dari pasien dengan menggunakan format khusus pendokumentasian pada pelaksanaan.

EVALUASI
Setelah dilakukan implementasi keperawatan, maka hal yang perlu di evaluasi dari tindakan yang telah kita lakukan yaitu :
1. Bersihan jalan nafas efektif .
2. Pertukaran gas yang Adekuat.
3. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan dapat terpenuhi.

Jumat, 07 Agustus 2009

askep bbl yang sakit

kerinci.......

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA BAYI BARU LAHIR YANG SAKIT

PENDAHULUAN
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik sebagai berikut :

1. Peredaran darah melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk bernafas (pertukaran oksigen dengan karbondioksida)
2. Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan
3. Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi oleh tubuh untuk mempertahankan homeostasis kimia darah
4. Hati berfungsi untuk menetralisasi dan mengekresi bahan racun yang tidak diperlukan badan
5. Sistem imunologik berfungsi untuk mencegah infeksi
6. Sistem kardiovaskular serta endokrin bayi menyesuaikan diri dengan perubahan fungsi organ tersebut diatas
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.
Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil.
Untuk mampu mewujudkan koordinasi dan standar pelayanan yang berkualitas maka petugas kesehatan dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melaksanakan pelayanan essensial neonatal yang dikategorikan dalam dua kelompok yaitu :
A. Pelayanan Dasar
1. Persalinan aman dan bersih
2. Mempertahankan suhu tubuh dan mencegah hiportermia
3. Mempertahankan pernafasan spontan
4. ASI Ekslusif
5. Perawatan mata
B. Pelayanan Khusus
1. Tatalaksana Bayi Neonatus sakit
2. Perawatan bayi kurang bulan dan BBLR
3. Imunisasi
Makalah ini akan membahas asuhan keperawatan bayi baru lahir yang sakit. Mengingat luasnya bahasan maka pembahasan akan difokuskan kepada masalah ikterus & hiperbilirubinemia, neonatus dengan ibu DM, neonatus prematur, hipertermia dan hipotermia. Selain itu juga dikaji respon keluarga terhadap neonatus yang sakit serta hubungan tumbuh kembang neonatus terhadap penyakit secara umum.
EFEK SAKIT PADA NEONATUS
Fase neonatus adalah fase yang sangat rawan akan hubungan ibu dan bayi. Karena kegagalan relasi pada masa ini akan memberi dampak pada tahap berikutnya. Kebutuhan psikologi fase ini melipurti tiga hal penting yaitu seeing (memandang), touching (sentuhan), dan caretaking (merawat dengan perhatian seluruh emosinya). Dengan demikian kesempatan ibu kontak mata dan menyentuh serta melakukan sendiri dalam mengganti popok adalah menjadi prioritas dalam intervensi perawat.
Penyakit atau kecacatan pada anak mempengaruhi terbinanya hubungan saling percaya antara anak dengan orangtua. Penyakit pada anak dapat membuat harapan orangtua menurun, penyakit sering mengakibatkan gangguan dalam kemampuan motorik anak, keterbatasan gerak di tempat tidur dan berkurangnya kontak bayi dengan lingkungan. Intervensi keperawatan sangat penting untuk membantu keluarga dalam menghadapi bayi yang sakit. Keberadaan perawat yang selalu siap membantu sangat penting untuk menenangkan orangtua terhadap rasa ketidak berdayaannya.
REAKSI EMOSIONAL PENERIMAAN KELUARGA
Pada neonatus yang menderita sakit, maka keluarga akan merasa cemas, tidak berdaya, dan lain sebagainya yang merupakan reaksi keluarga terhadap kenyataan bahwa bayinya menderita suatu penyakit. Berikut adalah reaksi emosional penerimaan keluarga terhadap neonatus sakit dan bagaimana perawat mengatasi hal tersebut :
1. Denial
Respon perawat terhadap penolakan adalah komponen untuk kebutuhan individu yang kontinyu sebagai mekanisme pertahanan. Dukungan metode efektif adalah mendengarkan secara aktif. Diam atau tidak ada reinforcement bukanlah suatu penolakan. Diam dapat diinterpretasikan salah, keefektifan diam dan mendengar haruslah sejalan dengan konsentrasi fisik dan mental. Penggunaan bahasa tubuh dalam berkomunikasi harus concern. Kontak mata, sentuhan, postur tubuh, cara duduk dapat digunakan saat diam sehingga komunikasi berjalan efektif.
2. Rasa bersalah
Perasaan bersalah adalah respon biasa dan dapat menyebabkan kecemasan keluarga. Mereka sering mengatakan bahwa merekalah yang menjadi penyebab bayinya mengalami kondisi sakit. Amati ekspresi bersalah, dimana ekspresi tersebut akan membuat mereka lebih terbuka untuk menyatakan perasaannya.
3. Marah
Marah adalah suatu reaksi yang sulit diterima dan sulit ditangani secara therapeutik. Aturan dasar untuk menolak marah seseorang adalah hindari gagalnya kemarahan dan dorong untuk marah secara assertif.
HIPERBILIRUBINEMIA
Definisi :
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya akumulasi bilirubin dalam darah (level normal 5 mg/dl pada bayi normal) yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urine.
Etiologi:
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup (sefal hematoma, perdarahan subaponeoratik) atau inkompatabilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia : keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan acidosis, hipoglikemia dan polisitemia.
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan acidosis atau dengan hipoksia/anoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gagguan konjugasi hepar (defisiensi enszim glukoronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada sususnan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.
Tabel.1 Perbandingan Tipe Unconjungatif Hyperbilirubinemia
Fisiologis jaundice Jaundice yang berhubungan dengan Breast feeding Jaundice Breast milk Hemolitik desease
Penyebab Fungsi hepatik immatur ditambah peningkatan bilirubin dari hemolisis RBC Intake susu yang jelek berhubungan dengan konsumsi kalori yang sedikit pada bayi sebelum susu ibu keluar Faktor-faktor pada susu ibu yang berubah, bilirubin menjadi bentuk lemak yang mana direabsorbsi usus Incompatibilitas antigen yang menyebabkan hemolisis sebagian dari RBC.
Hati tidak mampu untuk mengkonjugasikan dan mengeksresikan kelebihan bilirubin dari hemolisis
Onset Setelah 24 jam pertama (bayi prematur, bayi lahir lama) 2 - 3 hari 4 - 5 hari Selama 24 jam pertama
Puncak 72 jam 2 - 3 hari 10 - 15 hari Bervariasi
Durasi Berkurang setelah 5-7 hari Sampai seminggu
Terapi Fototherapi jika bilirubin meningkat dengan cepat Berikan ASI sesering mungkin, berikan suplemen kalori, fototherapi untuk kadar bilirubin 18 - 20 mg/dl Hentikan ASI selama 24 jam untuk mendeterminasi sebab, jika kadar bilirubin menurun pemberian ASI dapat diulangi.
Dapat dilakukan fototherapi tanpa menghentikan pemberian ASI Posnatal: fototherapi, bila perlu transfusi tukar
Prenatal:
Transfusi (fetus)
Mencegah sensitisasi dari RH negatif ibu dengan RhoGAM
Pengkajian
1. Riwayat keluarga dan kehamilan:
- Orang tua atau saudara dengan neonatal jaundice atau penyakit lever
- Prenatal care
- DM pada ibu
- Infeksi seperti toxoplasmosis, spilis, hepatitis, rubela, sitomegalovirus dan herves yang mana ditransmisikan secara silang keplasenta selama kehamilan
- Penyalahgunaan obat pada orang tua
- Ibu dengan Rh negatif sedangkan ayah dengan Rh positif
- Riwayat transfusi Rh positif pada ibu Rh negatif
- Riwayat abortus dengan bayi Rh positif
- Obat-obatan selama kehamilan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria
- Induksi oksitosin pada saat persalinan
- Penggunaan vakum ekstraksi
- Penggunaan phenobarbital pada ibu 1-2 bulan sebelum persalinan
2. Status bayi saat kelahiran:
- Prematuritas atau kecil masa kehamilan
- APGAR score yang mengindikasikan asfiksia
- Trauma dengan hematoma atau injuri
- Sepsis neonatus, adanya cairan yang berbau tidak sedap
- Hepatosplenomegali
3. Kardiovaskuler
- Edema general atau penurunan volume darah, mengakibatkan gagal jantung pada hidro fetalis
4. Gastrointestinal
- Oral feeding yang buruk
- Kehilangan berat badan sampai 5 % selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake kalori
- Hepatosplenomegali
5. Integumen
- Jaundice selama 24 jam pertama (tipe patologis), setelah 24 jam pertama (Fisiologik tipe) atau setelah 1 bulan dengan diberikan ASI
- Kalor yang disebabkan oleh anemia yang terjadi karena hemolisis RBC
6. Neurologik
- Hipotoni
- Tremor, tidak adanya reflek moro dan reflek menghisap, reflek tendon yang minimal
- Iritabilitas, fleksi siku, kelemahan otot, opistotonis
- Kejang
7. Pulmonari
- Apnu, sianosis, dyspnea setelah kejadian kern ikterus
- Aspiksia, efusi pulmonal
8. Data Penunjang
- Golongan darah dan faktor Rh pada ibu dan bayi untuk menentukan resiko incompatibilitas, Rh ayah juga diperiksa jika Rh ibu negatif (test dilakukan saat prenatal)
- Amniosintesis dengan analisa cairan amnion, Coombs test dengan hasil negatif mengindikasikan peningkatan titer antibodi Anti D, bilirubin level pada cairan amnion meningkat sampai lebih dari 0,28 mg/dl sudah merupakan nilai abnormal (mengindikasikan kebutuhan transfusi pada janin).
- Coombs test (direct) pada darah tali pusat setelah persalinan, positif bila antibodi terbentuk pada bayi.
- Coombs test (indirect) pada darah tali pusat, positif bila antibodi terdapat pada darah ibu.
- Serial level bilirubin total, lebih atau sama dengan 0,5 mg/jam samapi 20 mg/dl mengindikasikan resiko kernikterus dan kebutuhan transfusi tukar tergantung dari berat badan bayi dan umur kehamilan.
- Direct bilirubin level, meningkat jika terjadi infeksi atau gangguan hemolisis Rh
- Hitung retikulosit, meningkat pada hemolisis
- Hb dan HCT
- Total protein, menentukan penurunan binding site
- Hitung leukosit, menurun sampai dibawah 5000/mm3, mengindikasikan terjadinya infeksi
- Urinalsis, untuk mendeteksi glukosa dan aseton, PH dan urobilinogen, kreatinin level
Diagnosa Keperawatan
Dx. 1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan produk sisa sel darah merah yang berlebihan dan imaturitas hati
Tujuan 1: Pasien mendapatkan terapi untuk menyeimbangkan eksresi bilirubin
Tindakan:
1. Kaji adanya jaundice pada kulit, yang mana mengindikasikan peningkatan kadar bilirubin
2. Cek kadar bilirubin dengan bilirobinometer transkutan untuk mengetahui peningkatan atau penurunan kadar bilirubin
3. Catat waktu terjadinya jaundice untuk membedakan fisiologik jaundice (terjadi setelah 24 jam) dengan patologik jaundice (terjadi sebelum 24 jam)
4. Kaji status bayi khususnya faktor yang dapat meningkatkan resiko kerusakan otak akibat hiperbilirubinemia (seperti hipoksia, hipotermia, hipoglikemia dan metabolik asidosis)
5. Memulai feeding lebih cepat utuk mengeksresikan bilirubin pada feces
Hasil yang diharapkan:
1. Bayi baru lahir memulai feeding segera setelah lahir
2. Bayi baru lahir mendapatkan paparan dari sumber cahaya
Tujuan 2: tidak terjadi komplikasi dari fototherapi
Tindakan:
1. Tutupi mata bayi baru lahir untuk menghindari iritasi kornea
2. Tempatkan bayi secara telanjang dibawah cahaya untuk memaksimalkan paparan cahaya pada kulit
3. Ubah posisi secara teratur utnuk meningkatkan paparan pada permukaan tubuh
4. Monitor suhu tubuh untuk mendeteksi hipotermia atau hipertermia
5. Pada peningkatan BAB, bersihkan daerah perienal untuk menghindari iritasi
6. Hindarkan penggunaan minyak pada kulit untuk mencegah rasa pedih dan terbakar
7. Berikan intake fluid secara adekuat untuk menghindari rehidrasi
Hasil yang diharapkan : tidak terjadi iritasi mata, dehidrasi, instabilitas suhu dan kerusakan kulit
Tujuan 3: Tidak adanya komplikasi dari transfusi tukar (jika terapi ini diberikan)
Tindakan:
1. Jangan berikan asupan oral sebelum prosedur (2-4 jam) untuk mencegah aspirasi
2. Cek donor darah dan tipe Rh untuk mencegah reaksi transfusi
3. Bantu dokter selama prosedur untuk mencegah infeksi
4. Catat secara akurat jumlah darah yang masuk dan keluar untuk mempertahankan volume darah
5. Pertahankan suhu tubuh yang optimal selama prosedur untuk mencegah hipotermia dan stress karena dingin atau hipotermia
6. Observasi tanda perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia, distress nafas, perubahan tekanan darah secara dramatis, ketidakstabilan temperatur, dan rash)
7. Siapkan alat resusitasi untuk mengatasi keadaan emergensi
8. Cek umbilikal site terhadap terjadinya perdarahan atau infeksi
9. Monitor vital sign selama dan stelah transfusi untuk mendeteksi komplikasi seperti disritmia jantung.
Hasil yang diharapkan :
1. Bayi menunjukkan tidak adanya tanda-tanda reaksi transfusi
2. Vital sign berada pada batas normal
3. Tidak terjadi infeksi atau perdarahan pada daerah terpasangnya infus
Dx.2. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan bayi dengan potensial respon fisiologis yang merugikan
Tujuan 1: Keluarga dapat memberikan suport emosional
Tindakan:
1. Hentikan fototherapi selama kujungan keluarga, lepaskan tutup mata bayi untuk membantu interaksi keluarga
2. Jelaskan proses fisiologis jaundice untuk mencegah kekhawatiran keluarga dan potensial over proteksi pada bayi
3. Yakinkan keluarga bahwa kulit akan kembali normal
4. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya untuk memperpendek periode jaundice
5. Jelaskan kegunaan ASI untuk mengatasi jaundice dan penyakit lainnya
Hasil yang diharapkan :
Keluarga menunjukkan pengertian terhadap terapi dan prognosa
Tujuan 2: Keluarga dapat melaksanakan fototherapi dirumah
Tindakan:
1. Kaji pengertian keluarga terhadap jaundice dan terapi yang diberikan
2. Instruksikan keluarga untuk:
- Melindungi mata
- Merubah posisi
- Memberikan asupan cairan yang adekuat
- Menghindari penggunaan minyak pada kulit
- Mengukur suhu aksila
- Mengobservasi bayi: warna, bentuk makanan, jumlah makanan
- Mengobservasi bayi terhadap tanda letargi, perubahan pola tidur, perubahan pola eliminasi
3. Menjelaskan perlunya test bilirubin bila diperlukan
Hasil yang diharapkan:
Keluarga dapat menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan fototherapi di rumah (khususnya metode dan rasional)

Rabu, 05 Agustus 2009

askep fraktur

kerinci.......

Fraktur: Patah Tulang
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma. Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
Fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi, dan gerakan memuntir yang keras. Fraktur kedua tulang ini sering terjadi dalam kaitan satu sama lain :
Klasifikasi fraktur :
Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut
• Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst).
• Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :
1. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
2. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
• Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
1. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
2. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).
3. Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).
• Berdasarkan posisi fragmen :
1. Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
2. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur
• Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :
1. Tertutup
2. Terbuka (adanya perlukaan dikulit).
• Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma
1. Garis patah melintang.
2. Oblik / miring.
3. Spiral / melingkari tulang.
4. Kompresi
5. Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.
• Berdasarkan kedudukan tulangnya :
1. Tidak adanya dislokasi.
2. Adanya dislokasi
• Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1. Tipe Ekstensi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2. Tipe Fleksi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000)
Etiologi
1. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim.
2. Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.
3. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.
Menurut Oswari E, (1993) ; Penyebab Fraktur adalah :
1. Kekerasan langsung; Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Patofisiologis
Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang keras akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang menjadi patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi discontinuitas di tulang tersebut.
Pada fraktur tibia dan fibula lebih sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya karena periost yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan karena berada langsung di bawah kulit maka sering ditemukan adanya fraktur terbuka

Manifestasi klinis:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
Komplikasi fraktur
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
6. Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil
8. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia.
10. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.
Pemeriksaan penunjang
Radiologi :
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah

Penatalaksanaan Fraktur
Tujuan pengobatan fraktur
1. Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen–fragmen ke posisi anatomi.
2. Imobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen–fragmen tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union.
3. Penyambungan fraktur (union)
4. Mengembalikan fungsi (rehabilitasi)
Prinsip Dasar Penanganan Fraktur
1. Revive; Yaitu penilaian cepat untuk mencegah kematian, apabila pernafasan ada hambatan perlu dilakukan therapi ABC (Airway, Breathing, Circulation) agar pernafasan lancar.
2. Review; Yaitu berupa pemeriksaan fisik yang meliputi : look feel, novemert dan pemeriksaan fisik ini dilengkapi dengan foto rontgent untuk memastikan adanya fraktur.
3. Repair; Yaitu tindakan pembedahan berupa tindakan operatif dan konservatif. Tindakan operatif meliputi : Orif, Oref, menjahit luka dan menjahit pembuluh darah yang robek, sedangkan tindakan konservatif berupa pemasangan gips dan traksi.
4. Refer; Yaitu berupa pemindahan pasien ke tempat lain, yang dilakukan dengan hati-hati, sehingga tidak memperparah luka yang diderita.
5. Rehabilitation; Yaitu memperbaiki fungsi secara optimal untuk bisa produktif.
Proses penyembuhan tulang
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma; Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler; Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus; Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik (bersifat menghasilkan/membentuk tulang), bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
4. Stadium Empat-Konsolidasi; Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru.
5. Stadium Lima-Remodelling; Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus.

Selasa, 04 Agustus 2009

askep bronkhitis

kerinci.......

ASKEP BRONKHITIS
Pengertian bronkhitis
Bronkhitis adalah hipersekresi mukus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut pada pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain (Perawatan Medikal Bedah 2, 1998, hal : 490).
Anatomi dan fisiologi sistem pernafasan
Anatomi sistem pernafasan
Saluran pernafasan bagian atas
Rongga hidung
Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus oleh sel – sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai penyaring kotoran, melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru – paru.
Faring
Adalah struktur yang menghubungkan hidung dengan rongga mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region ; nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Fungsi utamanya adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratoriun dan digestif.
Laring
Adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakhea. Fungsi utamanya adalah untuk memungkinkan terjadinya lokalisasi. Laring juga melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
Saluran pernafasan bagian bawah.
Trakhea
Disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci, tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.
Bronkus
Broncus terdiri atas 2 bagian yaitu broncus kanan dan kiri. Broncus kanan lebih pendek dan lebar, merupakan kelanjutan dari trakhea yang arahnya hampir vertikal. Bronchus kiri lebih panjang dan lebih sempit, merupakan kelanjutan dari trakhea dengan sudut yang lebih tajam. Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang menjadi bronchus lobaris kemudian bronchus segmentaliis. Bronkus dan bronkiolus dilapisi oleh sel – sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut silia, yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru menuju laring.
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori yang menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel – sel alveolar, sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar. Sel alveolar tipe II sel – sel yang aktif secara metabolik, mensekresi surfactan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel – sel fagositosis yang besar yang memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.
Fisiologi sistem pernafasan
Pernafasan mencakup 2 proses, yaitu :
Pernafasan luar yaitu proses penyerapan oksigen (O2) dan pengeluaran carbondioksida (CO2) secara keseluruhan.
Pernafasan dalam yaitu proses pertukaran gas antara sel jaringan dengan cairan sekitarnya (penggunaan oksigen dalam sel).
Proses fisiologi pernafasan dalam menjalankan fungsinya mencakup 3 proses yaitu :
Ventilasi yaitu proses keluar masuknya udara dari atmosfir ke alveoli paru.
Difusi yaitu proses perpindahan/pertukaran gas dari alveoli ke dalam kapiler paru.
Transpor yaitu proses perpindahan oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.
Etiologi
Adalah 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok, infeksi dari polusi. Selain itu terdapat pula hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial.
Rokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Comite on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (volume ekspirasi paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran pernafasan juga dapat menyebabkan bronkostriksi akut.
Infeksi
Eksaserbasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Hemophilus influenza dan streptococcus pneumonie.
Polusi
Pulusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab, tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat – zat kimia dapat juga menyebabkan bronchitis adalah zat – zat pereduksi seperti O2, zat – zat pengoksida seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
Keturunan
Belum diketahui secara jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak, kecuali pada penderita defisiensi alfa – 1 – antitripsin yang merupakan suatu problem, dimana kelainan ini diturunkan secara autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru.
Faktor sosial ekonomi
Kematian pada bronchitis ternyata lebih banyak pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
Patofisiologi
Penemuan patologis dari bronchitis adalah hipertropi dari kelenjar mukosa bronchus dan peningkatan sejumlah sel goblet disertai dengan infiltrasi sel radang dan ini mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronchiolus yang kecil – kecil sedemikian rupa sampai bronchiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara lain yang biasa terdapat pada daerah industri. Polusi tersebut dapat memperlambat aktifitas silia dan pagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah.
Mukus yang berlebihan terjadi akibat displasia. Sel – sel penghasil mukus di bronkhus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan – perubahan pada sel – sel penghasil mukus dan sel – sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus dalam jumlah besar yang sulit dikeluarkan dari saluran nafas.
Manifestasi klinis
Keluhan
Batuk, mulai dengan batuk – batuk pagi hari, dan makin lama batuk makin berat, timbul siang hari maupun malam hari, penderita terganggu tidurnya.
Dahak, sputum putih/mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi purulen atau mukopuruen dan kental.
Sesak bila timbul infeksi, sesak napas akan bertambah, kadang – kadang disertai tanda – tanda payah jantung kanan, lama kelamaan timbul kor pulmonal yang menetap.
Pemeriksaan fisik
Pada stadium ini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang – kadang terdengar ronchi pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronchi pada waktu ekspirasi maupun inspirasi disertai bising mengi. Juga didapatkan tanda – tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara nafas dan suara jantung lemah, kadang – kadang disertai kontraksi otot – otot pernafasan tambahan.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan radiologis
Tubular shadow atau traun lines terlihat bayangan garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. bayangan tersebut adalah bayangan bronchus yang menebal.
Corak paru bertambah
Pemeriksaan fungsi paru
VEP1 (Volume ekspirasi paksa 1 detik) : menurun.
4,8 liter).  3,1 liter,  KV (kapasitas vital) : menurun (normal
1,2 liter).  1,1 liter,  VR (volume residu) : bertambah (normal
KTP (kapasitas tot 6,0 liter). 4,2 liter, al paru) : normal (normal
KRF (kapasitas residu fungsional) : sedikit naik atau normal (normal 2,2 liter).  1,8 liter,  
Analisa gas darah
Pa O2 : rendah (normal 25 – 100 mmHg)
Pa CO2 : tinggi (normal 36 – 44 mmHg).
Saturasi hemoglobin menurun.
Eritropoesis bertambah.
Penganganan
Tindakan suportif
Pendidikan bagi pasien dan keluarganya tentang :
Menghindari merokok
Menghindari iritan lainnya yang dapat terhirup.
Mengontrol suhu dan kelembaban lingkungan.
Nutrisi yang baik.
Hidrasi yang adekuat.
Terapi khusus (pengobatan).
Bronchodilator
Antimikroba
Kortikosteroid
Terapi pernafasan
Terapi aerosol
Terapi oksigen
Penyesuaian fisik
Latihan relaksasi
Meditasi
Menahan nafas
Rehabilitasi
Prognosis
Prognosis jangka panjang maupun jangka pendek bergantung pada umur dan gejala klinik waktu berobat.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pengkajian.
Data dasar pengkajian pada pasien dengan bronchitis :
Aktivitas/istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari.
Ketidakmampuan untuk tidur.
Dispnoe pada saat istirahat.
Tanda : Keletihan
Gelisah, insomnia.
Kelemahan umum/kehilangan massa otot.
Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat.
Distensi vena leher.
Edema dependent
Bunyi jantung redup.
Warna kulit/membran mukosa normal/cyanosis
Pucat, dapat menunjukkan anemi.
Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor resiko
Perubahan pola hidup
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
Makanan/cairan
Gejala : Mual/muntah.
Nafsu makan buruk/anoreksia
Ketidakmampuan untuk makan
Penurunan berat badan, peningkatan berat badan
Tanda : Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
Penurunan berat badan, palpitasi abdomen
Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
Pernafasan
Gejala : Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari selama minimun 3 bulan berturut – turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun.
Episode batuk hilang timbul.
Tanda : Pernafasan biasa cepat.
Penggunaan otot bantu pernafasan
Bentuk barel chest, gerakan diafragma minimal.
Bunyi nafas ronchi
Perkusi hyperresonan pada area paru.
Warna pucat dengan cyanosis bibir dan dasar kuku, abu – abu keseluruhan.
Keamanan
Gejala : Riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan.
Adanya/berulangnya infeksi.
Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
Interaksi sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan
Kegagalan dukungan/terhadap pasangan/orang dekat
Penyakit lama/ketidakmampuan membaik.
Tanda : Ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena distress pernafasan
Keterbatasan mobilitas fisik.
Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
Pemeriksaan diagnostik :
Sinar x dada : Dapat menyatakan hiperinflasi paru – paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, hasil normal selama periode remisi.
Tes fungsi paru : Untuk menentukan penyebab dispnoe, melihat obstruksi, memperkirakan derajat disfungsi.
TLC : Meningkat
Volume residu : Meningkat.
FEV1/FVC : Rasio volume meningkat.
GDA : PaO2 dan PaCO2 menurun, pH Normal.
Bronchogram : Menunjukkan di latasi silinder bronchus saat inspirasi, pembesaran duktus mukosa.
Sputum : Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen.
EKG : Disritmia atrial, peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF.
Diagnosa keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronchus.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan broncokontriksi, mukus.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan dispnoe, anoreksia, mual muntah.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan menetapnya sekret, proses penyakit kronis.
Intoleran aktifitas berhubungan dengan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan dirumah.
Perencanaan Keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Tujuan :
Mempertahankan jalan nafas paten.
Rencana Tindakan:
Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas.
Kaji/pantau frekuensi pernafasan.
Rasional : Tachipnoe biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan selama / adanya proses infeksi akut.
Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir
Rasional : Memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispoe dan menurunkan jebakan udara.
Observasi karakteristik batuk
Rasional : Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada lansia, penyakit akut atau kelemahan
Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari
Rasional : Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronchus.
Tujuan :
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
Rencana Tindakan:
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya proses penyakit.
Tinggikan kepala tempat tidur, dorong nafas dalam.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispenea dan kerja nafas.
Auskultasi bunyi nafas.
Rasional : Bunyi nafas makin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi
Awasi tanda vital dan irama jantung
Rasional : Takikardia, disritmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Awasi GDA
Rasional : PaCO¬2 biasanya meningkat, dan PaO2 menurun sehingga hipoksia terjadi derajat lebih besar/kecil.
Berikan O2 tambahan sesuai dengan indikasi hasil GDA
Rasional : Dapat memperbaiki/mencegah buruknya hipoksia.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan broncokontriksi, mukus.
Tujuan : perbaikan dalam pola nafas.
Rencana Tindakan:
Ajarkan pasien pernafasan diafragmatik dan pernafasan bibir
Rasional : Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernafas lebih efisien dan efektif.
Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dan periode istirahat
Rasional : memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan.
Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernafasan jika diharuskan
Rasional : menguatkan dan mengkondisikan otot-otot pernafasan.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan dispnoe, anoreksia, mual muntah.
Tujuan :
Menunjukkan peningkatan berat badan.
Rencana Tindakan:
Kaji kebiasaan diet.
Rasional : Pasien distress pernafasan akut, anoreksia karena dispnea, produksi sputum.
Auskultasi bunyi usus
Rasional : Penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster.
Berikan perawatan oral
Rasional : Rasa tidak enak, bau adalah pencegahan utama yang dapat membuat mual dan muntah.
Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Berguna menentukan kebutuhan kalori dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Konsul ahli gizi
Rasional : Kebutuhan kalori yang didasarkan pada kebutuhan individu memberikan nutrisi maksimal.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan menetapnya sekret, proses penyakit kronis.
Tujuan : mengidentifikasi intervensi untuk mencegah resiko tinggi
Rencana Tindakan:
Awasi suhu.
Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
Observasi warna, bau sputum.
Rasional : Sekret berbau, kuning dan kehijauan menunjukkan adanya infeksi.
Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan sputum.
Rasional : mencegah penyebaran patogen.
Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Rasional : Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tekanan darah terhadap infeksi.
Berikan anti mikroba sesuai indikasi
Rasional : Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur.
Intoleran aktifitas berhubungan dengan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan :
Menunjukkan perbaikan dengan aktivitas intoleran
Rencana tindakan:
Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan exercise, berjalan perlahan atau latihan yang sesuai.
Rasional : Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak O2.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan : pasien akan mengalami penurunan rasa ketakutan dan ansietas.
Rencana tindakan:
Kaji tingkat kecemasan (ringan, sedang, berat).
Rasional : Dengan mengetahui tingkat kecemasan klien, sehingga memudahkan tindakan selanjutnya.
Berikan dorongan emosional.
Rasional : Dukungan yang baik memberikan semangat tinggi untuk menerima keadaan penyakit yang dialami.
Beri dorongan mengungkapkan ketakutan/masalah
Rasional : Mengungkapkan masalah yang dirasakan akan mengurangi beban pikiran yang dirasakan
Jelaskan jenis prosedur dari pengobatan
Rasional : Penjelasan yang tepat dan memahami penyakitnya sehingga mau bekerjasama dalam tindakan perawatan dan pengobatan.
Beri dorongan spiritual
Rasional : Diharapkan kesabaran yang tinggi untuk menjalani perawatan dan menyerahkan pada TYME atas kesembuhannya.
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan di rumah
Tujuan : Mengatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.
Intervensi :
Jelaskan proses penyakit individu
Rasional : Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan partisipasi pada rencana pengobatan.
Instruksikan untuk latihan afas, batuk efektif dan latihan kondisi umum.
Rasional : Nafas bibir dan nafas abdominal membantu meminimalkan kolaps jalan nafas dan meningkatkan toleransi aktivitas
Diskusikan faktor individu yang meningkatkan kondisi misalnya udara, serbuk, asap tembakau.
Rasional : Faktor lingkungan dapat menimbulkan iritasi bronchial dan peningkatan produksi sekret jalan nafas.
Impelementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan diprioritaskan pada upaya untuk mempertahankan jalan nafas, mempermudah pertukaran gas, meningkatkan masukan nutrisi, mencegah komplikasi, memperlambat memperburuknya kondisi, memberikan informasi tentang proses penyakit (Doenges Marilynn E, 2000, Remcana Asuhan Keperawatan)
Evaluasi.
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai,
Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi keperawatan/hasil pasien yang mungkin diperlukan. Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan yaitu : jalan nafas efektif, pola nafas efektif, pertukaran gas adekuat, masukan nutrisi adekuat, infeksi tidak terjadi, intolerans aktivitas meningkat, kecemasan berkurang/hilang, klien memahami kondisi penyakitnya. (Keliat Budi Anna, 1994, Proses Keperawatan)
Sumber:
1.Smeltzer, Suzanne C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, ; alih bahasa, Agung Waluyo; editor Monica Ester, Edisi 8, EGC; Jakarta.
2.Carolin, Elizabeth J, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2002.
3.Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ; alih bahasa, I Made Kariasa ; editor, Monica Ester, Edisi 3, EGC ; Jakarta.
4.Tucker, Susan Martin, 1998, Standar Perawatan Pasien; Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta.
5.Soeparman, Sarwono Waspadji, 1998, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Penerbit FKUI, Jakarta.
6.Long, Barbara C, 1998, Perawatan Medikal Bedah, 1998, EGC, Jakarta.
7.PRICE, Sylvia Anderson, 1994, Patofisiologi; Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, EGC, Jakarta.
8.Keliat, Budi Anna, Proses Keperawatan

askep gastroenteritis

kerinci.......
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GASTEROENTERITIS
PENGERTIAN.
Gastroentritis ( GE ) adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah (Sowden,et all.1996).
Gastroenteritis diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari biasanya (FKUI,1965).
Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang disebabkan oleh bakteri yang bermacam-macam,virus dan parasit yang patogen (Whaley & Wong’s,1995).
Gastroenteritis adalah kondisis dengan karakteristik adanya muntah dan diare yang disebabkan oleh infeksi,alergi atau keracunan zat makanan ( Marlenan Mayers,1995 ).
Dari keempat pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Gstroentritis adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan frekwensi lebih banyak dari biasanya yang disebabkan oleh bakteri,virus dan parasit yang patogen.
PATOFISIOLOGI.
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus, Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter, Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada Gastroenteritis akut. Penularan Gastroenteritis biasanya melalui fekal-oral dari satu penderita ke yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotic (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus,isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare ). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan multilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (Dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (Asidosis Metabolik dan Hipokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.
GEJALA KLINIS.
a.Diare.
b.Muntah.
c.Demam.
d.Nyeri Abdomen
e.Membran mukosa mulut dan bibir kering
f.Fontanel Cekung
g.Kehilangan berat badan
h.Tidak nafsu makan
i.Lemah
KOMPLIKASI
a.Dehidrasi
b.Renjatan hipovolemik
c.Kejang
d.Bakterimia
e.Mal nutrisi
f.Hipoglikemia
g.Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus.
Dari komplikasi Gastroentritis,tingkat dehidrasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.Dehidrasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan syok.
b.Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit jelek, suara serak, penderita jatuh pre syok nadi cepat dan dalam.
c.Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 – 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik seperti tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot-otot kaku sampai sianosis.
PENATALAKSANAAN MEDIS
a.Pemberian cairan.
b.Diatetik : pemberian makanan dan minuman khusus pada penderita dengan tujuan penyembuhan dan menjaga kesehatan adapun hal yang perlu diperhatikan :
1.Memberikan asi.
2.Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih.
c.Obat-obatan.
Keterangan :
a. Pemberian cairan,pada klien Diare dengasn memperhatikan derajat dehidrasinya dan keadaan umum.
1.cairan per oral.
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang,cairan diberikan peroral berupa cairan yang berisikan NaCl dan Na,Hco,Kal dan Glukosa,untuk Diare akut diatas umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan,atau sedang kadar natrium 50-60 Meq/I dapat dibuat sendiri (mengandung larutan garam dan gula ) atau air tajin yang diberi gula dengan garam. Hal tersebut diatas adalah untuk pengobatan dirumah sebelum dibawa kerumah sakit untuk mencegah dehidrasi lebih lanjut.
2.Cairan parenteral.
Mengenai seberapa banyak cairan yang harus diberikan tergantung dari berat badan atau ringannya dehidrasi,yang diperhitungkan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat badannya.
2.1.Dehidrasi ringan.
2.1.1. 1 jam pertama 25 – 50 ml / Kg BB / hari
2.1.2. Kemudian 125 ml / Kg BB / oral
2.2. Dehidrasi sedang.
2.2.1. 1 jam pertama 50 – 100 ml / Kg BB / oral
2.2.2. kemudian 125 ml / kg BB / hari.
2.3. Dehidrasi berat.
2.3.1. Untuk anak umur 1 bulan – 2 tahun dengan berat badan 3 – 10 kg
• 1 jam pertama : 40 ml / kg BB / jam = 10 tetes / kg BB / menit (infus set 1 ml = 15 tetes atau 13 tetes / kg BB / menit.
• 7 jam berikutnya 12 ml / kg BB / jam = 3 tetes / kg BB / menit ( infus set 1 ml = 20 tetes ).
• 16 jam berikutnya 125 ml / kg BB oralit per oral bila anak mau minum,teruskan dengan 2A intra vena 2 tetes / kg BB / menit atau 3 tetes / kg BB / menit.
2.3.2. Untuk anak lebih dari 2 – 5 tahun dengan berat badan 10 – 15 kg.
1 jam pertama 30 ml / kg BB / jam atau 8 tetes / kg BB / menit (§ infus set 1 ml = 15 tetes ) atau 10 tetes / kg BB / menit ( 1 ml = 20 tetes ).
7 jam kemudian 127 ml / kg BB oralit per oral,bila anak tidak mau§ minum dapat diteruskan dengan 2A intra vena 2 tetes / kg BB / menit atau 3 tetes / kg BB / menit.
2.3.3. Untuk anak lebih dari 5 – 10 tahun dengan berat badan 15 – 25 kg.
1 jam pertama 20 ml / kg BB / jam atau 5 tetes / kg BB / menit ( infus set 1 ml = 20 tetes ).§
16 jam berikutnya 105 ml / kg BB oralit per oral.§
2.4. Diatetik ( pemberian makanan ).
Terafi diatetik adalah pemberian makan dan minum khusus kepada penderita dengan tujuan meringankan,menyembuhkan serta menjaga kesehatan penderita.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
2.4.1. Memberikan Asi.
2.4.2. Memberikan bahan makanan yang mengandung cukup kalori,protein,mineral dan vitamin,makanan harus bersih.
2.5. Obat-obatan.
2.5.1. Obat anti sekresi.
2.5.2. Obat anti spasmolitik.
2.5.3. Obat antibiotik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium.
1.1. Pemeriksaan tinja.
1.2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup,bila memungkinkan dengan menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau astrup,bila memungkinkan.
1.3. Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui pungsi ginjal.
2. pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit secara kuantitatif,terutama dilakukan pada penderita diare kronik.
TUMBUH KEMBANG ANAK
Berdasarkan pengertian yang didapat,penulis menguraikan tentang pengertian dari pertumbuhan adalah berkaitan dengan masa pertumbuhan dalam besar, jumlah, ukuran atau dengan dimensi tentang sel organ individu, sedangkan perkembangan adalah menitik beratkan pada aspek perubahan bentuk atau fungsi pematangan organ individu termasuk perubahan aspek dan emosional.
Anak adalah merupakan makhluk yang unik dan utuh, bukan merupakan orang dewasa kecil, atau kekayaan orang tua yang nilainya dapat dihitung secara ekonomi.
Tujuan keperawatan anak adalah meningkatkan maturasi yang sehat bagi anak, baik secara fisik, intelektual dan emosional secara sosial dan konteks keluarga dan masyarakat.
Tumbuh kembang pada bayi usia 6 bulan.
d. Motorik halus.
1. Mulai belajar meraih benda-benda yang ada didalam jangkauan ataupun diluar.
2. Menangkap objek atau benda-benda dan menjatuhkannya
3. Memasukkan benda kedalam mulutnya.
4. Memegang kaki dan mendorong ke arah mulutnya.
5. Mencengkram dengan seluruh telapak tangan.
e. Motorik kasar.
1. Mengangkat kepala dan dada sambil bertopang tangan.
2. Dapat tengkurap dan berbalik sendiri.
3. Dapat merangkak mendekati benda atau seseorang.
f. Kognitif.
1. Berusaha memperluas lapangan.
2. Tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain.
3. Mulai mencari benda-benda yang hilang.
g. Bahasa.
Mengeluarkan suara ma, pa, ba walaupun kita berasumsi ia sudah dapat memanggil kita, tetapi sebenarnya ia sama sekali belum mengerti.
DAMPAK HOSPITALISASI TERHADAP ANAK.
a. Separation ansiety
b. Tergantung pada orang tua
c. Stress bila berpisah dengan orang yang berarti
d. Tahap putus asa : berhenti menangis, kurang aktif, tidak mau makan, main,
menarik diri, sedih, kesepian dan apatis
e. Tahap menolak : Samar-samar seperti menerima perpisahan, menerima hubungan
dengan orang lain dan menyukai lingkungan
PENGKAJIAN.
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,analisa data dan penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,observasi,psikal assessment. Kaji data menurut Cyndi Smith Greenberg,1992 adalah :
1. Identitas klien.
2. Riwayat keperawatan.
2.1. Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh meningkat,anoreksia kemudian timbul diare.
2.2. Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan elektrolit terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi ubun-ubun besar cekung,tonus dan turgor kulit berkurang,selaput lendir mulut dan bibir kering,frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan konsistensi encer.
3. Riwayat kesehatan masa lalu.
Riwayat penyakit yang diderita,riwayat pemberian imunisasi.
4. Riwayat psikososial keluarga.
Dirawat akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga,kecemasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak,setelah menyadari penyakit anaknya,mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
5. Kebutuhan dasar.
5.1. Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari,BAK sedikit atau jarang.
5.2. Pola nutrisi : diawali dengan mual,muntah,anopreksia,menyebabkan penurunan berat badan pasien.
5.3. Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
5.4. Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.
5.5. Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lamah dan adanya nyeri akibat distensi abdomen.
6. Pemerikasaan fisik.
6.1. Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah,kesadran composmentis sampai koma,suhu tubuh tinggi,nadi cepat dan lemah,pernapasan agak cepat.
6.2. Pemeriksaan sistematik :
6.2.1. Inspeksi : mata cekung,ubun-ubun besar,selaput lendir,mulut dan bibir kering,berat badan menurun,anus kemerahan.
6.2.2. Perkusi : adanya distensi abdomen.
6.2.3. Palpasi : Turgor kulit kurang elastis
6.2.4. Auskultasi : terdengarnya bising usus.
6.3. Pemeriksaan tinglkat tumbuh kembang.
Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi sehingga berat badan menurun.
6.4. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan tinja,darah lengkap dan doodenum intubation yaitu untuk mengetahui penyebab secara kuantitatip dan kualitatif.
DIAGNOSA KEPERWATAN.
1. Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.
2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubuingan dengan mual dan muntah.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi,frekwensi BAB yang berlebihan.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit,prognosis dan pengobatan.
6. Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua,prosedur yang menakutkan.

INTERVENSI
Diagnosa 1.
Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.
Tujuan .
Devisit cairan dan elektrolit teratasi
Kriteria hasil
Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, mukosa mulut dan bibir lembab, balan cairan seimbang
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital. Observasi tanda-tanda dehidrasi. Ukur infut dan output cairan (balanc ccairan). Berikan dan anjurkan keluarga untuk memberikan minum yang banyak kurang lebih 2000 – 2500 cc per hari. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therafi cairan, pemeriksaan lab elektrolit. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian cairan rendah sodium.
Diagnosa 2.
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubuingan dengan mual dan muntah.
Tujuan
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi teratasi
Kriteria hasil
Intake nutrisi klien meningkat, diet habis 1 porsi yang disediakan, mual,muntah tidak ada.
Intervensi
Kaji pola nutrisi klien dan perubahan yang terjadi. Timbang berat badan klien. Kaji factor penyebab gangguan pemenuhan nutrisi. Lakukan pemerikasaan fisik abdomen (palpasi,perkusi,dan auskultasi). Berikan diet dalam kondisi hangat dan porsi kecil tapi sering. Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet klien.
Diagnosa 3.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi,frekwensi BAB yang berlebihan.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit teratasi
Kriteria hasil :
Integritas kulit kembali normal, iritasi tidak ada, tanda-tanda infeksi tidak ada
Intervensi :
Ganti popok anak jika basah. Bersihkan bokong perlahan sabun non alcohol. Beri zalp seperti zinc oxsida bila terjadi iritasi pada kulit. Observasi bokong dan perineum dari infeksi. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therafi antipungi sesuai indikasi.
Diagnosa 4.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
Tujuan :
Nyeri dapat teratasi
Kriteria hasil :
Nyeri dapat berkurang / hiilang, ekspresi wajah tenang
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital. Kaji tingkat rasa nyeri. Atur posisi yang nyaman bagi klien. Beri kompres hangat pada daerah abdoment. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therafi analgetik sesuai indikasi.
Diagnosa 5.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit,prognosis dan pengobatan.
Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
Keluarga klien mengeri dengan proses penyakit klien, ekspresi wajah tenang, keluarga tidak banyak bertanya lagi tentang proses penyakit klien.
Intervensi :
Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit klien. Jelaskan tentang proses penyakit klien dengan melalui penkes. Berikan kesempatan pada keluarga bila ada yang belum dimengertinya. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
Diagnosa 6.
Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua,prosedur yang menakutkan.
Tujuan :
Klien akan memperlihatkan penurunan tingkat kecemasan
Intervensi :
Kaji tingkat kecemasan klien. Kaji faktor pencetus cemas. Buat jadwal kontak dengan klien. Kaji hal yang disukai klien. Berikan mainan sesuai kesukaan klien. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan. Anjurkan pada keluarga unrtuk selalu mendampingi klien.
EVALUASI.
1.Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.
2.Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhantubuh.
3.Integritas kulit kembali noprmal.
4.Rasa nyaman terpenuhi.
5.Pengetahuan kelurga meningkat.
6.Cemas pada klien teratasi.

askep BBLR

kerinci.......

Askep BBLR
1. Definisi
BBLR adalah bayi baru lahir dengan BB 2500 gram/ lebih rendah (WHO 1961) Klasifikasi BBLR
Prematuritas murni: Masa Gestasi kurang dari 37 minggu dan Bbnya sesuai dengan masa gestasi.
Dismaturitas: BB bayi yang kurang dari BB seharusnya, tidak sesuai dengan masa gestasinya.
Faktor ibu
Faktor penyakit (toksemia gravidarum, trauma fisik dll)
Faktor usia
Keadaan sosial
Faktor janin
Hydroamnion
Kehamilan multiple/ganda
Kelainan kromosom
Faktor Lingkungan
Tempat tinggal didataran tinggi
Radiasi
Zat-zat beracun
3. Patofisiologi? lagi dicari
4. Gejala Klinis
v BB <>
Pb <>
Lingkar dada <>
Lingkar kepala <>
5. Pem. Penunjang
Analisa gas darah
6. Komplikasi
v RDS
v Aspiksia
7. Penatalaksanaan medis
v Pemberian vitamin K
v Pemberian O2
8. Askep Pengkajian
v Tanda-tanda anatomis
¨ Kulit keriput, tipis, penuh lanugo pada dahi, pelipis, telinga dan lengan, lemak jaringan sedikit (tipis).
¨ Kuku jari tangan dan kaki belum mencapai ujung jari
¨ Pada bayi laki-laki testis belum turun.
¨ Pada bayi perempuan labia mayora lebih menonjol.
v Tanda fisiologis
Gerakan bayi pasif dan tangis hanya merintih, walaupun lapar bayi tidak menangis, bayi lebih banyak tidur dan lebih malas.
Suhu tubuh mudah untuk menjadi hipotermi.
Penyebabnya adalah :
o Pusat pengatur panas belum berfungsi dengan sempurna.
o Kurangnya lemak pada jaringan subcutan akibatnya mempercepat terjadinya perubahan suhu.
o Kurangnya mobilisasi sehingga produksi panas berkurang.
9. Diagnosa Keperawatan
Tidak efektifnya pola nafas b.d imaturitas fungsi paru dan neuromuskuler
Tidak efektifnya termoregulasi b.d imaturitas control dan pengatur suhu tubuh dan berkurangnya lemak sub cutan didalam tubuh.
Resiko infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (imunologi).
Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan tubuh dalam mencerna nutrisi (imaturitas saluran cerna).
Resiko gangguan integritas kulit b.d tipisnya jaringan kulit, imobilisasi.
Kecemasan orang tua b.d situasi krisis, kurang pengetahuan.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Perencanaan
1.
Tidak efektifnya pola nafas b.d imaturitas fungsi paru dn neuro muscular
Pola nafas efektif .Kriteria Hasil :¨ RR 30-60 x/mnt¨ Sianosis (-)¨ Sesak (-)¨ Ronchi (-)¨ Whezing (-

Observasi pola Nafas.
Observasi frekuensi dan bunyi nafas
Observasi adanya sianosis.
Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.
Tempatkan kepala pada posisi hiperekstensi.
Beri O2 sesuai program dokter
Observasi respon bayi terhadap ventilator dan terapi O2.
Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.
Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.
2
Tidak efektifnya termoregulasi b.d imaturitas control dan pengatur suhu dan berkurangnya lemak subcutan didalam tubuh.
Suhu tubuh kembali normal.Kriteria Hasil :¨ Suhu 36-37 C.¨ Kulit hangat.¨ Sianosis (-)¨ Ekstremitas hangat
Observasi tanda-tanda vital.
Tempatkan bayi pada incubator.
Awasi dan atur control temperature dalam incubator sesuai kebutuhan.
Monitor tanda-tanda Hipertermi.
Hindari bayi dari pengaruh yang dapat menurunkan suhu tubuh.
Ganti pakaian setiap basah.
Observasi adanya sianosis.
3.
Resiko infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (imunologi)
Infeksi tidak terjadi.Kriteria Hasil :¨ Suhu 36-37 C¨ Tidak ada tanda-tanda infeksi.¨ Leukosit 5.000 - 10.000


Kaji tanda-tanda infeksi.
Isolasi bayi dengan bayi lain.
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi.
Gunakan masker setiap kontak dengan bayi.
Cegah kontak dengan orang yang terinfeksi.
Pastikan semua perawatan yang kontak dengan bayi dalam keadaan bersih/steril.
Kolaborasi dengan dokter.
Berikan antibiotic sesuai program.
4.
Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan mencerna nutrisi (Imaturitas saluran cerna)
Nutrisi terpenuhi setelahKriteria hasil :¨ Reflek hisap dan menelan baik¨ Muntah (-)¨ Kembung (-)¨ BAB lancar¨ Berat badan meningkat 15 gr/hr¨ Turgor elastis.

Observasi intake dan output.
Observasi reflek hisap dan menelan.
Beri minum sesuai .
Pasang NGT bila reflekprogram menghisap dan menelan tidak ada.
Monitor tanda-tanda intoleransi terhadap nutrisi parenteral.
Kaji kesiapan untuk pemberian nutrisi enteral
Kaji kesiapan ibu untuk menyusu.
Timbang BB setiap hari.
5
Resiko gangguan integritas kulit b.d tipisnya jaringan kulit, imobilisasi.
Gangguan integritas kulit tidak terjadiKriteria hasil :¨ Suhu 36,5-37 C¨ Tidak ada lecet atau kemerahan pada kulit.¨ Tanda-tanda infeksi (-)
Observasi vital sign.
Observasi tekstur dan warna kulit.
Lakukan tindakan secara aseptic dan antiseptic.
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi.
Jaga kebersihan kulit bayi.
Ganti pakaian setiap basah.
Jaga kebersihan tempat tidur.
Lakukan mobilisasi tiap 2 jam.
Monitor suhu dalam incubator.
6.
Kecemasan orang tua b.d kurang pengetahuan orang tua dan kondisi krisis.
Cemas berkurangKriteria hasil :Orang tua tampak tenang
Orang tua tidak bertanya-tanya lagi.
Orang tua berpartisipasi dalam proses perawatan.

Kaji tingkat pengetahuan orang tua
Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.
Libatkan keluarga dalam perawatan bayinya.
Berikan support dan reinforcement atas apa yang dapat dicapai oleh orang tua.
Latih orang tua tentang cara-cara perawatan bayi dirumah sebelum bayi pulang.

askep ibu hamil dengan diabetes melitus

kerinci.......

ASKEP IBU HAMIL DENGAN DM
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Adalah penyakit kronik yang komplek yang dikarakterisasikan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak, hiperglikemi dan perkembangan dari mikrovaskuler ( kental kapiler), arterisklerosis, makrivaskuler komplikasi dan neuropatik ( gangguan struktus dan fungsi ginjal).
B. Etiologi
Penyakit gula dapat merupakan kelainan herediter dengan cara insufisiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula darah tinggi. Berkurangnya glikogenesis. Diabetes dalam kehamilan menimbulkan banyak kesulitan, penyakit ini akan menyebabkan perubahan-perubahan metabolik dan hormonal pada penderita yang juga dipengaruhi oleh kehamilan. Sebaliknya diabetes akan mempengaruhi kehamilan dan persalinan.
Factor Predisposisi :
Umur sudah mulai tua
Multiparitas
Penderita gemuk
Kelainan anak lebih besar dari 4000 g
Bersifat keturunan
Pada pemeriksaan terdapat gula dalam urine
Riwayat kehamilan : Sering meninggal dalam rahim, Sering mengalami lahir mati, Sering mengalami keguguran
Glokusuria
C. Klasifikasi Diabetes Melitus
a) Type I ( IDDM ) : DM yang berganyung pada insulin
b) Type II ( NIDDM ) : Orang tidak bergantung pada insulin, tetapi dapat diobati dengan insulin, muncul > 50 tahun.
c) Diabetes Laten : Subklinis atau diabetes hamil, uji toleransi gula tidak normal. Pengobatan tidak memerlukan insulin cukup dengan diit saja.
D. Epidemitologi
Gangguan Dm terjadi 2 % dari semua wanita hamil, kejadian meningkat sejalan dengan umur kehamilan, tetapi tidak merupakan kecenderungan orang dengan gangguan toleransi glokusa , 25% kemungkinan akan berkembang menjadi DM.
E. Pengaruh Diabetes Melitus Terhadap Kehamilan
1. Pengaruh kehamilan, persalinan dan nifas terhadap DM
a. Kehamilan dapat menyebabkan status pre diabetik menjadi manifes ( diabetik )
b. DM akan menjadi lebih berat karena kehamilan
2. Pengaruh penyakit gula terhadap kehamilan di antaranya adalah :
a. Abortus dan partus prematurus
b. Hidronion
c. Pre-eklamasi
d. Kesalahan letak jantung
e. Insufisiensi plasenta
3. Pengaruh penyakit terhadap persalinan
a. Gangguan kontraksi otot rahim partus lama / terlantar.
b. Janin besar sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
c. Gangguan pembuluh darah plasenta sehingga terjadi asfiksia sampai dengan lahir
mati
d. Perdarahan post partum karena gangguan kontraksi otot rahim.
e. Post partum mudah terjadi infeksi.
f. Bayi mengalami hypoglicemi post partum sehingga dapat menimbulkan kematian
4. Pengaruh DM terhadap kala nifas
a. Mudah terjadi infeksi post partum
b. Kesembuhan luka terlambat dan cenderung infeksi mudah menyebar
5. Pengaruh DM terhadap bayi
a. Abortus, prematur, > usia kandungan 36 minggu
b. Janin besar ( makrosomia )
c. Dapat terjadi cacat bawaan, potensial penyakit saraf dan jiwa
F. Pencegahan
1. Primer : untuk mengurangi obesitas dan BB.
2. Sekunder : deteksi dini, kontrol penyakit hipertensi, anto rokok, perawatan.
3. Tersier :
Pendidikan tentang perawatan kaki, cegah ulserasi, gangren dan amputasi.
Pemeriksaan optalmologist
Albuminuria monitor penyakit ginjal
Kontrol hipertensi, status metabolic dan diet rendah protein
Pendidikan pasien tentang penggunaan medikasi untuk mengontrol medikasi
G. Terapi
1. Dialysis : peritoneal, hemodialisa
2. Total Nutrisi Parenteral
3. Tube feeding Hyperosmolar
4. Pembedahan
5. Obat : Glukokortikoid, diuretic, dipenilhidonsion, Agmen Beta Adrenergik Bloking, Agen Immunosupresive, diazoxida.
ASUHAN KEPERWATAN
Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan :
Diuresis osmotik ( dari hiperglikemia ) kehilangan gastrik berlebihan : diare, muntah, masukan dibatasi : mual, kacau mental.
Kemungkinan dibuktikan dengan : peningkatan haluaran urine, urine encer, kelemahan, haus, penurunan berat BB tiba-tiba, membran mokusa kering, turgor kering, hipotensi, takikardi, pelambatan pengisin kapiler.
Kriteria hasil : mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan dengan tanda vital stabil, nadi ferifer dapat diraba, turgor kulit baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
- Ketidakcukupan insulin ( penurunan ambilan dan penggunaan glokusa oleh jaringan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein / lamak.
- Penurunan masukan oral, anoreksia, mula, lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran.
- Status hipermetabolisme. Pelepasan hormon stress misal ; epenipren, kortisol, dan hormon GH.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
- Melaporkan kemasukan makanan tak adekuat, kurang nafsu makan. Penurunan BB ; kelemahan, kelelahan, tonus otot buruk, diare.
Kroteria Hasil :
- Mencerna jumlah kalori / nutrisi yang tepat
- Menunjukkan tingkat energi biasanya
- Mendemonstrasikan berat badanstabil atau penambahan ke arah rentang biasanya / yang diinginkan dengan nilai laboratrium yang normal.
3. Kelelahan berhubungan dengan :
- Penurunan produksi energi metabolik
- Perubahan kimia darah ; insufisiensi insulin
- Peningkatan kebutuhan energi : status hipermatabolik
Kemungkinan dibuktikan dengan :
- Kurang energi yang berlebihan, ketidakmampuan mempertahankan rutinitas biasanya, penurunan kinerja, kecenderungan untuk kecelakaan.
Kriteria hasil
- Mengungkapkan peningkatan energi
- Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Fakultas Kedokteran Universitas Pedjajaran Bandung. 1984. Obstetri Patologi.
Bandung : Elstar Offset.
Doenges E, Marilynn. 1993 Rencana Asuhan Keperawatan. Kajarta : EGC
Mochtar, Rustam. Prof. DR. 1989. Sypnosis Obstetrik : Obstetrik Patologi. Edisi I.
Jakarta : EGC
Prawiroharjo, Sarwono. 1976. Ilmu Kebidanan. Jakarta : yayasan Bina Pustaka
Chamberlain, Geofferey. 1994. Obstetrik dan Ginekologi Praktis. Jakarta : Widya Medika
Ledewig. W. Patricia. 2005. Buku Saku Asuhan Keperawatan Ibu Bayi Baru Lahir.
Jakarta :EGC
Manumba, Ida Bagus. 1993. Penuntun Kepanitraan Klinik Obstetrik dan Ginekologi
Jakarta : EGC
Oxorn, Harry. 1990. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan . Yayasan
Esentia Medika
Heller, Luz 1991. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta : EGC